Jumat, 31 Mei 2013

Gedung Kesenian Lokananta

Lokananta Studio Rekaman Pertama di Indonesia Harus Dilestarikan Sebagai Aset Sejarah

Lokananta adalah perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1956 dan berlokasi di Solo, Jawa Tengah. Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta yang kurang lebih berarti "Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh".
Semenjak tahun 1983 Lokananta juga pernah mempunyai unit produksi penggadaan film dalam format pita magnetik (Betamax dan VHS).

Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta sekarang menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI. Sebagai Perum Percetakan Negara RI cabang Surakarta kegiatannya antara lain :
  1. Recording
  2. Music Studio
  3. Broadcasting
  4. Percetakan dan Penerbitan
Lokananta sampai sekarang masih mempunyai koleksi ribuan lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia (Ethnic/World Music/foklor) dan lagu-lagu pop lama termasuk di antaranya lagu-lagu keroncong. Selain itu Lokananta mempunyai koleksi lebih dari 5.000 lagu rekaman daerah bahkan rekaman pidato-pidato kenegaraan Presiden Soekarno.

Koleksinya antara antara lain terdiri musik gamelan Jawa, Bali, Sunda, Sumatera Utara (batak) dan musik daerah lainnya serta lagu lagu folklore ataupun lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, dan karawitan Jawa Surakarta dan Yogya merupakan sebagian dari koleksi yang ada di Lokananta. Tersimpan juga master lagu berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Lokananta telah melahirkan beberapa penyanyi ternama di Indonesia.

Salah Satu karya musik produksi Lokananta adalah merekam lagu Rasa Sayange bersama dengan lagu daerah lainnya dalam satu piringan hitam. Piringan hitam ini kemudian dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962. Lagu Rasa sayange yang merupakan lagu foklore dari Maluku yang telah menjadi musik rakyat Indonesia.

Lokananta mugkin menjadi nama yang asing di telinga anak muda penggemar musik Indonesia. Bukan salah generasi muda juga bila tak banyak yang mengenali Lokananta. Lokananta adalah studio sekaligus label rekaman pertama milik Indonesia. Berdiri sejak 29 Oktober 1956 di Solo, berarti Lokananta belum lama merayakan ulang tahunnya ke 56. Posisi Lokananta dalam sejarah bangsa Indonesia sangatlah penting. Studio bersejarah ini memiliki rekaman lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pidato proklamasi kemerdekaan Presiden Soekarno. Jadi apabila ingin mengetahui sejarah musik Indonesia, maka tengoklah studio Lokananta yang berada di Jalan Ahmad Yani 387, Solo. Di sebuah bangunan tua yang membisu tesebut tersimpan sejarah perjalanan musik Indonesia dari pertama.


Musisi legendaris Indonesia seperti Gesang, Titik Puspa, Waldjinah, Ismail Marzuki, Bubi Chen, Jack Lesmana, Bing Slamet, Idris Sardi pernah melakukan proses rekaman di studio Lokananta. Ribuan master rekaman dari berbagai genre musik Indonesia mulai dari pop, keroncong, tradisional hingga jazz sejak tahun 1950-an hingga era 1980-an tersimpan di Lokananta. Kekayaan musik tradisional bahkan musik folklore ataupun lagu rakyat yang tidak diketahui penciptanya menjadi bagian koleksi Lokananta. Rekaman gending karawitan gubahan dalang kesohor Ki Narto Sabdo, dan karawitan Jawa Surakarta dan Yogya merupakan sebagian dari koleksi yang ada di Lokananta.

Sejak awal berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas utama yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam juga audio kaset. Lalu karena melihat potensi pasar, pada tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 251, status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara R.I.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, dan juga menjadi kelemahan utama bangsa Indonesia yaitu melupakan masa lalu dan melakukan proses pendokumentasian sejarah. Lokananta pun ikut larut dalam “penyakit” tersebut. Posisi Lokananta yang harusnya strategis karena menyimpan harta karun sejarah musik juga titik awal keberadaan bangsa ini juga tidak diperhatikan. Ketiadaan dukungan finansial untuk merawat harta karun tersebut membuat hampir semua dokumen berharga yang tersimpan di sana menjadi rusak dan tak layak. Bahkan beberapa koleksi terpaksa harus dijual untuk menutupi biaya operasional tersebut.

Beruntung, musisi pop Indonesia masa kini seperti Glenn Fredly mulai mengajak segenap insan pencinta musik Indonesia untuk merestorasi kembali Lokananta. Glenn Fredly dengan getol berkampanye "save" lokananta ingin menjadikan Lokananta sebagai warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan. Bahkan Gubernur DKI Jakarta sekarang, Jokowi pernah melontarkan ide agar Lokananta menjadi museum musik Indonesia.


*** Semoga Sejarah Musik Di Negeri Ini Tetap Akan Menjadi Kenangan & Lestari Karena Jasanya, Meskipun Generasi Sekarang Nyaris Melupakan Bahkan Tidak Mengenalnya.


*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia

Musik Gamelan dan Kreasinya

Musik Gamelan Jawa
Dalam Penyelenggaraan Hajat Keluarga Maupun Acara Tasyakur
Juga Sebagai Pengiring Kesenian Kreasi Kebudayaan

Pengertian Gamelan Gamelan Jawa Alat Musik Gamelan - Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, masyarakat paham dengan apa yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?.
Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengarah bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling.


Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan

Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.

Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu - Budha mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.

Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu).

Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.

Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat).

Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.


Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.

Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”, “pélog”, ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.

* Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.

* Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan
interval yang besar.

Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.

Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).

Dalarn pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):

(1) menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.

(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.


Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.

Musik Gamelan dan Seni Tari

Gamelan

Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.

Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.

Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan. 

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa. 

Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.

Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun saat ini gamelan masih digunakan pada acara-acara resmi seperti pernikahan, syukuran, dan lain-lain. tetapi pada saat ini, gamelan hanya digunakan mayoritas masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.



Makna Musik Jawa

MAKNA TEMBANG/ LAGU-LAGU MASYARAKAT JAWA
1. Maskumambang
Gambarake jabang bayi sing isih ono kandhutane ibune, sing durung
kawruhan lanang utawa wadhon, Mas ateges durung weruh lanang utawa
wadhon, kumambang ateges uripe ngambang nyang kandhutane ibune.

2. Mijil
ateges wis lair lan jelas priya utawa wanita.

3. Kinanthi
saka tembung kanthi utawa tuntun kang ateges dituntun supaya bisa
mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya.

4. Sinom
tegese kanoman, minangka kalodhangan sing paling penting kanggone
remaja supaya bisa ngangsu kawruh sak akeh-akehe.

5. Asmaradana
tegese rasa tresna, tresna marang liyan ( priya lan wanita lan kosok
baline ) kang kabeh mau wis dadi kodrat Ilahi.

6. Gambuh
saka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yen wis jumbuh / sarujuk
njur digathukake antarane priya lan wanita sing padha nduweni rasa
tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan.

7. Dandanggula
Nggambarake uripe wong kang lagi seneng-senenge, apa kang digayuh
biso kasembadan. Kelakon duwe sisihan / keluarga, duwe anak, urip
cukup kanggo sak kaluarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong
atine, bisa diarani lagu ndandanggula.

8. Durma
Saka tembung darma / weweh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripe,
banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyane kang lagi
nandhang kacintrakan, mula banjur tuwuh rasa kepengin darma / weweh
marang sapadha - padha. Kabeh mau disengkuyung uga saka piwulange
agama lan watak sosiale manungsa.

9. Pangkur
Saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka.
Kang dipikir tansah kepingin weweh marang sapadha - padha.

10.Megatruh
Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi
wancine katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa.

11.Pocung / Pucung
Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa dipocong
sak durunge dikubur.




Alat Musik Gamelan Jawa

GAMELAN
Simponi Musik Jawa Bercita Rasa Keselarasan Hidup 


Untuk menata segala kehidupan menjadi selaras dalam kehidupan duniawi dan rohani/batin adalah pandangan hidup dan kesehari-harian masyarakat jawa pada umumnya, misalnya cara berbusana yang serasi (tidak kontras, tidak seronok, tidak selalu mencari perhatian), keselarasan dalam berbicara meskipun sedang dalam emosi batin yang meledak-ledak tetap berusaha santun dalam mengungkapkan isi hatinya. Ngono ya ngono nanging aja ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu) adalah peribahasa jawa dalam mengungkapkan keselarasan dapat menahan emosi.

Keselarasan berarti dirinya dapat mengatur keseimbangan emosi dan menata perilaku yang laras, harmonis dan tidak menimbulkan kegoncangan. Saling menjaga diri, saling menjaga cipta, rasa, karsa dan perilaku, adalah pandangan hidup dan realitas hidupnya walau terjadi ritme-ritme karena dinamika kehidupan masyarakat. Dari sini maka irama Gendhing/musik dari Gamelan termasuk tembang jawa itu disusun dan dibuat.

Anda bisa memperhatikan urut-urutan dari alat gamelan ketika dibunyikan dalam sebuah irama Gending. Perhatikan saja tarikan dari tali rebab, disusul bunyi suara dari bilah-bilah logam kuningan yang disebut slentem, lalu bunyi saron, kendhang, kenong, gambang, dan lain-lainnya, yang selalu diakhiri suara gong di penghujung bait irama gendhing. Disini, muncul keselarasan jiwa dan rasa. Namun, jika ditanyakan sejak kapan dan siapa yang awalnya membuat, sulit untuk dilacak. Yang jelas sudah sangat tua, dimana Anda dapat melihat pada relief Candi Borobudur (abad VIII).

Boleh jadi perkembangannya dimulai dari kenthongan, tepukan tangan, pukulan ke mulut, gesekan pada tali/bambu tipis, dsbnya. Lalu alat musik jawa itu berkembang dalam bentuk bilahan kayu, bambu atau lempengan besi, lembaran kulit dan bambu yang dilubangi.
Setelah menjadi seperangkat alat musik kemudian dinamai Gamelan, mula-mula untuk mengiringi tarian, dan semakin semarak karena di dukung lagu (tembang) oleh penyanyi (swarawati/wiraswara). Kemudian berfungsi pula untuk menyemarakkan upacara-upacara Namun yang paling intensif ialah untuk mengiringi pagelaran wayang atau tari dan seni panggung (kethoprak atau sendratari).
Gamelan akan bersuara merdu, mantap dan tidak sember/fals, tergantung dari bahannya. Yang paling baik jika dibuat dari bahan perunggu berlapis kuningan, tapi biayanya sangat mahal. Atau bisa juga dari besi kualitas unggul, walau suaranya tentu kurang merdu, kurang mantap dan kemlonthong.

Gamelan/Gongso/"Pradonggo"(Kawi) berasal dari kata: temba ga + raja sa adalah bahan logam yang dicampur menjadi instrumen Gamelan: "gasa" diper luwes menjadi Gongso. Secara keseluruhan instrumental komplit Gamelan selain dari bahan logam, ada yang berbahan kayu, misalnya: gambang, demung, barung, peking, slentem, ditambah alat tiup suling dan alat gebuk kendang dan bedug , alat gesek rebab dan alat petik siter.

Di Solo misalnya, upacara Kirab Gunungan Sekaten pada bulan Maulid untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW, dari Karaton Kasunanan Surakarta ke Mesjid Agung di Alun-alun Utara juga diiringi irama Gendhing Carabalen dari perangkat Gamelan yang terdiri dari saron, centhe, keprak, kenong. Selama sepekan, maka Gamelan yang terdiri dari Kyai Guntursaroi dan Gunturmadu dikumandangkan oleh para niyaga (penabuh/pemusik) Karaton dari Bangsal Pradangga di halaman Masjid Agung.


Di Karaton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunagaran maupun Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman terdapat perangkat Gamelan peninggalan para leluhurnya. Sebagai contoh adalah perangkat Gamelan yang ada di Kasunanan Surakarta yang merupakan warisan pusaka dari masa Kerajaan Majapahit dengan keunggulan kualitas suara yang merdu, mantap dan lembut (perangkat Udan Riris, Kanyut Manis untuk pengiring upacara).

Ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma memimpin Mataram juga membuat perangkat Gamelan dan Gendhing-gendhing. Gendhing Ketawang Ageng yang digunakan untuk mengiringiupacara peringatan Jumenengan sang raja trah Mataram merupakan karya besar dari pakar seni karawitan di Karaton yang ilhamnya dari penghayatan terhadap alam lingkungan.

Di Kasultanan Yogyakarta dibuat duplikat perangkat Gamelan Sekaten yang menjadi pelengkap dari sisa Gamelan Sekaten warisan Majapahit, yang kemudian disebut Kyai Nagailaga. Duplikat gamelan Sekaten juga telah dibuat oleh Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta ketika masih bertempat di Sasanamulya, yang pengecoran logam sampai dengan jadinya digarap oleh pengrajin Gamelan di desa Wirun - Bekonang Sukaharjo.

 

Riwayat gamelan Tahun jaywaha, suryasangkala katingal Pangrasaning janma (162) 
Masa palguna, candrasangkala swara karengeng jagad (167), 
Sri paduka maharaja dewabuda membuat gamelan 'lokananta' berwujud wilahan terbuat dari gangsa, yang di masa kini disebut demung Suryasengkala bagahaning swara angrenggani swarga (269), tahun tarha Tandrasengkala swara matenggeng karna (287), masa kartika, 
Hyang endra membuat alat bunyi-bunyian yang dinamai 'surendra' berwujud gending (kini disebut 'rebab'), kala (kendang), sangka (gong), pamatut (kethuk), dan sauran (kenong) 
Suryasengkala karengeng karna tri (326) tahun wakdaniya Sandrasengkala karenggeng gunakaton muluk (336), masa palguna hyang endra mengutus batara citrasena ke negeri purwacarita membawa gamelan 'surendra' untuk diberikan pada maharaja kano bahwa semua bunyi-bunyian tersebut boleh dipakai oleh manusia di dunia.
Sri maharaja kano menambahkan dengan salundi (kempul) dan garantang (gambang)
dan menyebarkannya ke masyarakat untuk ditiru dan dikembangkan dengan berjalannya waktu, surendra menjadi lebih dikenal sebagai surendro atau salendro tahun pramadi, suryasangkala kaswareng karnaguna maletik (327) Masa wisaka, candrasengkala gora tri katon tawang (337) Srimaharaja kano menciptakan dan menyebarluaskan lagu-lagu dari tembang ageng inilah asal muasal gending. 

Tahun wikrama, suryasengkala naga kacaksuh ing rana (328) masa manggakala, candrasengkala madyaning rana tri (338) berdasarkan alat bunyi-bunyian dari negeri ajam, yahudi, dan hindu srimaharaja kano menciptakan bunyi-bunyian tanda perang: mardangga, yang terdiri dari : 
Kalakendang, sangka gong, egong, gubar (bende yang tidak ber-pencu),
bahiri (beri yang memakai sanding keliling), puksur (rebana yang dipukul dengan kayu),
gurnang (kenong digantung), tong-tong (kendang dari gangsa, alat pemukul dari kayu),
grit (rebana yang dipukul dengan kayu), tetek, bedug,
maguru gangsa (kemodong yang digantung)
lama kelamaan nama 'mardangga' berubah menjadi 'pradangga'
tahun pilapawa, suryasangkala trusta bojaning marga (529)
masa wisaka, candrasengkala tataning pakarti wisaya sirna (545)
dewi sugandi, putri prabu basukesti raja negeri wirata, melahirkan dewi basuwati
raja mengundang para brahmana, tapa, resi, dan sewasogata
untuk memuji syukur agar sang bayi senantiasa sehat tak kurang suatu apa
para rohaniwan ada yang membawa bunyi-bunyian rebana atau terbang angklung,
genta, kekeleng, bende, dan kentongan
bunyi-bunyian tersebut mengiringi nyanyian permohonan pada dewata
sepulang para rohaniwan raja memerintahkan membuat tiruan alat-alat tersebut
yang berbentuk rebana dan berbagai angklung
ditujukan agar bisa dimainkan seperti surendra
tahun kalayuda, suryasangkala guna makarti tata (543)
masa srawana, candrasengkala trusta marganing gati ((559)
prabu basukesti raja negeri wirata membuat tiruan dari gangsa lokananta
berwujud demung dan gender
yang kemudian juga disebarkan ke masyarakat luas
dan dikenal sebagai gangsa surendra
tahun sadaruna, suryasangkala anrus lenging naga (899)
masa . . . . , candrasangkala karenga ing karna nrus wiyat (926)
resi kano dari negeri ngadirejo, cilacap, berniat melawan prabu ajipamasa di kediri
prabu narada, raja ngadirejo segera mengutus waktra dan barlu mengawasi resi kano
waktra dan baru menyamar sebagai pemain jantur
membawa seruling buatan sendiri dari bambu wratsari dan empat ekor burung merak
bunyi seruling dibuat bernada-dasar menirukan suara-suara burung merak
sepulang ke ngadirejo seruling menjadi kelengkapan gangsa surendra
ditambah dengan bunyi dasar yang cocok dengan suara dasar gangsa salendro
timbullah laras 'manyura' untuk pengingat suara burung merak : 'nya-ngung-ngong'
tahun tadu, suryasangkala (1107) karengeng maletik atmajaji
candrasengkala karsa tri nunggal janma, 1136
prabu lembu amiluhur berputra raden panji ino kartapati
yang juga dikenal sebagai raden panji kasatrian, ahli segala ilmu pengetahuan
yang menambahkan alat berwujud bonang dan saron
serta menambah dasar-dasar nada atau laras
saudara-saudara beliau ikut membantu dalam mencipta alat
raden kartala mengayunkan palu besar raden andaga palu sedang
penyelesaiannya pun dikerjakan se-kadang sendiri
selesai gamelan tersebut, diciptakan seperangkat 'laras miring' atau disebut 'pelog'
jumlah dan jenis alat bunyian sama dengan gamelan surendro
akhirnya gamelan surendro disebut salendro dan pelog
pada masa pemerintahan prabu mundingsari dari kerajaan pajajaran
dibuat dua macam gamelan lagi seperti ayahnya dari jenggala
'sorogan untuk laras pelog' untuk mardangga yang disebut 'laras barang'
meniru laras bunyi-bunyian cina atau siyam
kini ada bermacam-macam kenong dan wilahan
dari demung lokananta yang konon hanya berjumlah delapan gender duabelas dan gambang juga duabelas. 

sumber : media seni budaya Indonesia
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak pribadi bangsa Indonesia.